Menyusuri Kantong-kantong Konflik Tarakan Pasca Kerusuhan (2-Selesai)
Jaga Kesucian Masjid Agung, Pesan Damai Tokoh Tidung
Laporan : Basri (4 OKTOBER 2010)
BERSAMA TOKOH TIDUNG. Penulis berpose bersama dengan tokoh masyarakat Tidung, penandatangan naskah Kesepakatan Damai di Tarakan, H Abdul Wahab. (FOTO DOKUMEN PRIBADI)
DUA hari saya berupaya keras untuk bertemu tokoh sentral suku Tidung. Namanya, H Abdul Wahab. Pria berusia 65 tahun ini yang menandatangani Kesepakatan Damai dengan suku Letta, untuk mengakhiri konflik di Tarakan.
Perjalanan menuju rumah Abdul Wahab hanya menghabiskan waktu berkisar 30 menit dari Bandara Juwata, Tarakan. Tidak ditemukan kendala berarti dalam perjalanan. Kecuali, sempat memasuki sebuah lorong yang panjangnya berkisar setengah kilometer.
Lorong ini agak sempit. Jika bus berpapasan, salah satunya harus mencari ruang agak luas untuk berhenti seraya memberi jalan bus lainnya. Kedua-duanya harus menyetel spion agar tidak bergesekan.
Pada hari pertama mencari Abdul Wahab, Jumat sore, 1 Oktober, pukul 17.15 Wita, hati saya deg-degan. Apalagi ketika memasuki lorong dengan tanjakan tajam tersebut, banyak anak muda berkerumun. Salah seorang di antaranya duduk di atas motor yang terparkir di sisi kanan jalan. Ia serius memainkan tombol HP-nya. Tidak mempedulikan orang yang akan lewat.
Hati saya semakin cemas. Saya ragu-ragu hendak mengucapkan salam atau sapaan lainnya. Saya lalu ingat ajaran orang tua, "Perbaiki napasmu. Orang buta pun akan tersenyum bila hatimu senyum padanya."
Dengan kebiasaan kampung, saya "mappatabe" (membungkukkan badan sedikit dengan tangan kanan ke bawah di sisi kanan paha) seraya mengucapkan, "perimisi…" Saya tidak menggunakan diksi "tabe" karena takut diketahui kalau saya orang Bugis. Maklum, tokoh yang hendak saya kunjungi ini ikon yang baru saja berkonflik dengan Bugis Letta. Jangan sampai persepsi mereka lain.
Saya sangat lega ketika anak muda yang duduk di sisi kiri jalan memberi respons. Ia menggeser standar motornya seraya tersenyum dan mengucapkan, "silakan."
Lebih lega lagi ketika bertanya kepada salah seorang yang bertubuh tambun di pos ronda. Saya baru membungkuk sedikit, pria berkaus biru itu tersenyum ramah. Ia langsung berdiri dan menunjukkan rumah Abdul Wahab. Sayangnya, rumah di Kelurahan Kampung Satu Skip RT 13 RW 02 No 24, Tarakan itu tergembok dari luar.
Jelang Magrib, saya memilih ke kantor Radar Tarakan (grup FAJAR). Saya mencoba menanyakan kepada teman-teman wartawan tentang karakter orang Tidung. "Orang Tidung itu ramah-ramah, Mas. Mereka itu sabar-sabar," kata Mbak Ani yang lama meliput peristiwa kota ketika masih reporter.
Saya pun semakin yakin untuk bisa berbincang lebih dekat dengan Abdul Wahab. Tinggal mencari momen kapan dan di mana saya harus temui. Saya memilih menungguinya di "markasnya", Masjid Agung Al-Ma’arif di Jl KH Agussalim No 1, Kelurahan Selumit, Kecamatan Tarakan Tengah.
Masjid yang menjadi tempat Musabaqah Tilawatil Quran VIII 2010 di Tarakan itu, pada pekan terakhir ini, banyak warga yang mengaku masih trauma lewat di sekitarnya. Hal ini terjadi sekaitan kasus pembunuhan yang memicu kerusuhan. Di masjid inilah tempat beribadah mayoritas warga Tidung.
Di masjid ini pulalah banyak keluarga almarhum Abdullah bin H Salim beribadah. H Abdullah Salim meninggal dunia pada Minggu, 26 September 2010 di Kelurahan Juata Permai akibat pertikaian yang memicu kerusuhan di beberapa tempat di Tarakan.
Sabtu siang, 2 Oktober, momentum itu pun datang. Saya memilih salat zuhur di masjid tersebut. Karena pengalaman kemarin sore ketika mendapatkan warga Tidung yang ramah itu, ditambah cerita Mbak Ani tadi tentang kesabaran warga Tidung, maka saya pun melangkah ke kawasan masjid tersebut.
Saya berupaya melupakan cerita warga yang masih enggan lewat di sekitar masjid tersebut karena trauma terhadap peristiwa pembunuhan yang memicu kerusuhan. Apalagi sebelumnya ada sosialisasi kesepakatan damai di masjid itu, maka saya pun semakin optimistis.
Lagi-lagi, senyum salah seorang warga Tidung saya dapatkan ketika hendak membuka sepatu di anak tangga masjid. Pria itu sedang mencabut jenggot. Melalui cermin di depannya, ia melihat kedatangan saya. Dia berbalik. Saya sedikit membungkuk, dia pun tersenyum.
Yang sedikit membuat saya ragu-ragu karena menggunakan atribut Makassar (baju FAJAR). Namun, semua keraguan itu hilang tatkala saya menyalami seseorang. Sosok ini begitu tinggi. Saya tak sempat lagi memperkirakan berapa sentimeter tingginya. Yang jelas, kalau sama-sama berdiri, kepala saya hanya mencapai ketiaknya. Dialah H Abdul Wahab.
Untuk memulai perbincangan, saya menyalami sambil mengajak foto berdua. Saya merangkul belakangnya. Dia pun memegang lebih erat. Saya lalu teringat daya "magis" sebuah kamera. Meskipun ini kamera kecil, tapi saya agak lama menyetelnya di hadapan wajah sosok agak kurus ini. Ia tersenyum setelah agak lama baru memencet tombol kamera.
Saya memang sengaja melakukan itu sebagai terapi. Kamera bisa membuat down seseorang yang angkuh. Padahal, tanpa melakukan itu, H Abdul Wahab pasti juga ramah. Selain karena ia warga Tidung, juga karena memang bukan preman.
Saya memulainya dengan mengungkapkan isi hati keprihatinan terhadap sebuah musibah. Saya berpihak kepada semua yang terpaksa berduka. Bahwasanya, tidak ada lawan dalam perspektif kemanusiaan. Manusia cuma satu. Yang berbeda hanya rupa. Apalagi, kasus yang menimpa warga Tarakan ini melibatkan saudara seiman; sesama Islam.
Abdul Wahab tidak berkomentar banyak. Berkali-kali memejamkan mata. Air mukanya sedikit berubah; tegang. Sepertinya menahan air mata. Ia lalu berujar, "Kita semua menyayangkan peristiwa ini." Ia tidak memperjelas peristiwa yang disayangkan. Ia mengusap matanya.
Masih begitu kental perisitiwa yang dikenangnya. Ia memang keluarga dekat almarhum Abdullah bin H Salim. Namun, kebesaran hatinya terungkap juga ketika dia berujar, "Kepada anak-anakku, kepada adik-adikku, janganlah bertindak melawan hukum karena peristiwa ini hanya kriminal murni. Ini peristiwa biasa, hanya melibatkan oknum orang Letta dengan oknum orang Tidung."
Pernyataan Abdul Wahab semakin meneguhkan sosok ini sebagai tokoh masyarakat. Tak salah jika ia didaulat untuk menandatangani naskah Kesepakatan Damai di Tarakan. Tak salah pula jika dia diboyong ke beberapa wilayah rawan konflik untuk mensosialisasikan hasil kesepakatan perdamaian tersebut.
Toh, pada hari-hari mendatang, baik di sekitar Masjid Agung ini, maupun di Tarakan pada umumnya, kedamaian adalah sesuatu yang menjadi harapan bersama antarsuku.
Tak salah pula, jika di sekitar anak tangga Masjid Agung ini dipajang sebuah tulisan sederhana, berbunyi, "Jagalah kebersihan kesucian masjid ini!" Dan, dengan demikian, menodai Kesepakatan Damai terebut, berarti kesucian Masjid Agung Tarakan pun ikut tercoreng. (*)
Sumber: Fajar.co.id (04 OKTOBER 2010)
Laporan : Basri (4 OKTOBER 2010)
BERSAMA TOKOH TIDUNG. Penulis berpose bersama dengan tokoh masyarakat Tidung, penandatangan naskah Kesepakatan Damai di Tarakan, H Abdul Wahab. (FOTO DOKUMEN PRIBADI)
DUA hari saya berupaya keras untuk bertemu tokoh sentral suku Tidung. Namanya, H Abdul Wahab. Pria berusia 65 tahun ini yang menandatangani Kesepakatan Damai dengan suku Letta, untuk mengakhiri konflik di Tarakan.
Perjalanan menuju rumah Abdul Wahab hanya menghabiskan waktu berkisar 30 menit dari Bandara Juwata, Tarakan. Tidak ditemukan kendala berarti dalam perjalanan. Kecuali, sempat memasuki sebuah lorong yang panjangnya berkisar setengah kilometer.
Lorong ini agak sempit. Jika bus berpapasan, salah satunya harus mencari ruang agak luas untuk berhenti seraya memberi jalan bus lainnya. Kedua-duanya harus menyetel spion agar tidak bergesekan.
Pada hari pertama mencari Abdul Wahab, Jumat sore, 1 Oktober, pukul 17.15 Wita, hati saya deg-degan. Apalagi ketika memasuki lorong dengan tanjakan tajam tersebut, banyak anak muda berkerumun. Salah seorang di antaranya duduk di atas motor yang terparkir di sisi kanan jalan. Ia serius memainkan tombol HP-nya. Tidak mempedulikan orang yang akan lewat.
Hati saya semakin cemas. Saya ragu-ragu hendak mengucapkan salam atau sapaan lainnya. Saya lalu ingat ajaran orang tua, "Perbaiki napasmu. Orang buta pun akan tersenyum bila hatimu senyum padanya."
Dengan kebiasaan kampung, saya "mappatabe" (membungkukkan badan sedikit dengan tangan kanan ke bawah di sisi kanan paha) seraya mengucapkan, "perimisi…" Saya tidak menggunakan diksi "tabe" karena takut diketahui kalau saya orang Bugis. Maklum, tokoh yang hendak saya kunjungi ini ikon yang baru saja berkonflik dengan Bugis Letta. Jangan sampai persepsi mereka lain.
Saya sangat lega ketika anak muda yang duduk di sisi kiri jalan memberi respons. Ia menggeser standar motornya seraya tersenyum dan mengucapkan, "silakan."
Lebih lega lagi ketika bertanya kepada salah seorang yang bertubuh tambun di pos ronda. Saya baru membungkuk sedikit, pria berkaus biru itu tersenyum ramah. Ia langsung berdiri dan menunjukkan rumah Abdul Wahab. Sayangnya, rumah di Kelurahan Kampung Satu Skip RT 13 RW 02 No 24, Tarakan itu tergembok dari luar.
Jelang Magrib, saya memilih ke kantor Radar Tarakan (grup FAJAR). Saya mencoba menanyakan kepada teman-teman wartawan tentang karakter orang Tidung. "Orang Tidung itu ramah-ramah, Mas. Mereka itu sabar-sabar," kata Mbak Ani yang lama meliput peristiwa kota ketika masih reporter.
Saya pun semakin yakin untuk bisa berbincang lebih dekat dengan Abdul Wahab. Tinggal mencari momen kapan dan di mana saya harus temui. Saya memilih menungguinya di "markasnya", Masjid Agung Al-Ma’arif di Jl KH Agussalim No 1, Kelurahan Selumit, Kecamatan Tarakan Tengah.
Masjid yang menjadi tempat Musabaqah Tilawatil Quran VIII 2010 di Tarakan itu, pada pekan terakhir ini, banyak warga yang mengaku masih trauma lewat di sekitarnya. Hal ini terjadi sekaitan kasus pembunuhan yang memicu kerusuhan. Di masjid inilah tempat beribadah mayoritas warga Tidung.
Di masjid ini pulalah banyak keluarga almarhum Abdullah bin H Salim beribadah. H Abdullah Salim meninggal dunia pada Minggu, 26 September 2010 di Kelurahan Juata Permai akibat pertikaian yang memicu kerusuhan di beberapa tempat di Tarakan.
Sabtu siang, 2 Oktober, momentum itu pun datang. Saya memilih salat zuhur di masjid tersebut. Karena pengalaman kemarin sore ketika mendapatkan warga Tidung yang ramah itu, ditambah cerita Mbak Ani tadi tentang kesabaran warga Tidung, maka saya pun melangkah ke kawasan masjid tersebut.
Saya berupaya melupakan cerita warga yang masih enggan lewat di sekitar masjid tersebut karena trauma terhadap peristiwa pembunuhan yang memicu kerusuhan. Apalagi sebelumnya ada sosialisasi kesepakatan damai di masjid itu, maka saya pun semakin optimistis.
Lagi-lagi, senyum salah seorang warga Tidung saya dapatkan ketika hendak membuka sepatu di anak tangga masjid. Pria itu sedang mencabut jenggot. Melalui cermin di depannya, ia melihat kedatangan saya. Dia berbalik. Saya sedikit membungkuk, dia pun tersenyum.
Yang sedikit membuat saya ragu-ragu karena menggunakan atribut Makassar (baju FAJAR). Namun, semua keraguan itu hilang tatkala saya menyalami seseorang. Sosok ini begitu tinggi. Saya tak sempat lagi memperkirakan berapa sentimeter tingginya. Yang jelas, kalau sama-sama berdiri, kepala saya hanya mencapai ketiaknya. Dialah H Abdul Wahab.
Untuk memulai perbincangan, saya menyalami sambil mengajak foto berdua. Saya merangkul belakangnya. Dia pun memegang lebih erat. Saya lalu teringat daya "magis" sebuah kamera. Meskipun ini kamera kecil, tapi saya agak lama menyetelnya di hadapan wajah sosok agak kurus ini. Ia tersenyum setelah agak lama baru memencet tombol kamera.
Saya memang sengaja melakukan itu sebagai terapi. Kamera bisa membuat down seseorang yang angkuh. Padahal, tanpa melakukan itu, H Abdul Wahab pasti juga ramah. Selain karena ia warga Tidung, juga karena memang bukan preman.
Saya memulainya dengan mengungkapkan isi hati keprihatinan terhadap sebuah musibah. Saya berpihak kepada semua yang terpaksa berduka. Bahwasanya, tidak ada lawan dalam perspektif kemanusiaan. Manusia cuma satu. Yang berbeda hanya rupa. Apalagi, kasus yang menimpa warga Tarakan ini melibatkan saudara seiman; sesama Islam.
Abdul Wahab tidak berkomentar banyak. Berkali-kali memejamkan mata. Air mukanya sedikit berubah; tegang. Sepertinya menahan air mata. Ia lalu berujar, "Kita semua menyayangkan peristiwa ini." Ia tidak memperjelas peristiwa yang disayangkan. Ia mengusap matanya.
Masih begitu kental perisitiwa yang dikenangnya. Ia memang keluarga dekat almarhum Abdullah bin H Salim. Namun, kebesaran hatinya terungkap juga ketika dia berujar, "Kepada anak-anakku, kepada adik-adikku, janganlah bertindak melawan hukum karena peristiwa ini hanya kriminal murni. Ini peristiwa biasa, hanya melibatkan oknum orang Letta dengan oknum orang Tidung."
Pernyataan Abdul Wahab semakin meneguhkan sosok ini sebagai tokoh masyarakat. Tak salah jika ia didaulat untuk menandatangani naskah Kesepakatan Damai di Tarakan. Tak salah pula jika dia diboyong ke beberapa wilayah rawan konflik untuk mensosialisasikan hasil kesepakatan perdamaian tersebut.
Toh, pada hari-hari mendatang, baik di sekitar Masjid Agung ini, maupun di Tarakan pada umumnya, kedamaian adalah sesuatu yang menjadi harapan bersama antarsuku.
Tak salah pula, jika di sekitar anak tangga Masjid Agung ini dipajang sebuah tulisan sederhana, berbunyi, "Jagalah kebersihan kesucian masjid ini!" Dan, dengan demikian, menodai Kesepakatan Damai terebut, berarti kesucian Masjid Agung Tarakan pun ikut tercoreng. (*)
Sumber: Fajar.co.id (04 OKTOBER 2010)