“Dari Turakon Jadilah Tarakan”

Asal Usul dan Sejarah Tarakan

Peta Tarakan - Kaltim Borneo by ArdizH. Mochtar Basry Idris, Kepala Adat Dayak Tidung Tarakan

Sejak dikukuhkan (pentabalan) sebagai Kepala Adat Besar Dayak Tidung Kalimantan, H Mochtar Basry Idris resmi menyandang gelar Amiril Pengiran Machkuta Adji Radin Alam. Kepada Radar Tarakan, dia sempat menceritakan sejarah Kota Tarakan. Apa saja?

Sebagai Kepala Adat besar tentunya Anda mengetahui asal-usul penduduk asli Kaltara?

Ya, yang saya ketahui asal-usul penduduk Kalimantan Timur bagian Utara adalah suku Dayak Tidung. Suku Dayak Tidung ini berasal dari perpindahan penduduk dari Yunan Selatan (Selatan Gurun Gobi, Cina Selatan). Perpindahan itu tidak sekaligus tapi secara bergelombang. Sehingga yang sampai ke Kaltim hanya keturunan mereka saja.

Ada berapa golongan suku Dayak di Kalimantan?

Pada intinya, suku Dayak di Kalimantan (Borneo) seluruhnya terdiri dari tujuh suku besar, 18 anak suku yang sedatuk dan 405 suku famili dari sekian banyak diantaranya adalah suku Murut, Idaan (Dusun) dan Tidung yang daerah pemukimannya menyebar dari perbatasan pemukiman suku Kenyah di daerah Apau Daa (perbatasan Malaysia, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur) yakni daerah Tana Tidung, Sabah Timur, Sabah Barat ke utara Kalimantan

Sebenarnya dari literatur kuno, istilah suku Daya atau Dayak tidak pernah dijumpai. Kata Dayak termasuk istilah baru, yang baru berkembang pada masa penjajahan Belanda. Yang ada hanya istilah kata yang menyebutkan Ulun Sedaya yang artinya orang yang bertempat tinggal di darat atau di atas. Oleh karena itu, suku asli yang menetap turun-temurun yang beranak pinak di kawasan daerah pantai tidak disebut sebagai Daya atau Dayak, dan bagi pendatang terdiri dari berbagai suku seperti Bugis, Toraja, Jawa, Mandar dan lainnya termasuk China disebut dengan sebutan Orang Haloq.

Bagaimana Latar belakang etnis suku Tidung?

Suku Tidung pada mulanya terdiri dari orang-orang lokal yang tinggal dan berpindah ke daerah pantai dan memainkan peran di bidang perdagangan luar negeri di bawah penguasaan Brunei. Kemudian pada akhir abad ke-18, suku Tidung secara berangsur-angsur telah kehilangan jaringan perdagangan dan kembali ke tanah asalnya sebagai masyarakat petani dan pengumpul hasil hutan. Dari sini suku Tidung bergerak ke pusat politik dan berusaha memonopoli sumber-sumber seperti sarang burung walet.

Lalu bagaimana penyebaran dan hubungan antaretnis Suku tidung?

Beberapa orang suku Tidung berpindah-pindah dan kebanyakan dari mereka tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang mereka, tinggal dan hidup di Berau, Kutai (Kutai Lama, Sangkulirang, Sangatta) dan lainnya. Di Sabah bagian Barat ada kumpulan kecil yang memiliki adat di luar suku Tidung yang bukan Islam. Tapi bahasa mereka mirip dengan dialek Tarakan. Tidung Tarakan sendiri disebut Tenggara atau desa Raja Tara’ yang penduduknya bercampur dengan orang Kayan seperti halnya Melayu yang tidak menjadi pertimbangan mereka menjadi orang Tidung. Suku Tidung membaur dengan semua kelompok untuk bersama-sama membentuk pemerintahan pantai. Waktu itu, mereka lebih menyukai kawin dengan tetangga muslim seperti Sulu, Bugis, Brunei, dan Arab serta orang-orang Melayu lainnya.

Selain berdagang, mata pencaharian suku Tidung apa saja?

Sebenarnya secara umum, suku Tidung itu dikenal sebagai nelayan. Sangat berbeda dengan suku Bajau, Sulu dan Brunei. Suku Tidung pada umumnya tinggal didaerah pantai yang mungkin bukan berarti mereka lebih konsentrasi pada sektor tersebut. Ada yang bekerja ganda, baik pertanian, nelayan dan bahkan berburu seperti orang-orang Borneo lainnya. Mereka juga menanam tanaman di ladang basah dan kering seperti beras, jagung, dan akar umbi, pisang, kelapa, pepaya dan pohon buah lainnya. Dibanding dengan penduduk pedalaman. Mereka lebih suka menanam sayur mayur seperti terong, gandum dan padi-padian millet. Gaya hidup orang-orang Tidung lebih suka bekerja di laut, sungai dan daratan disebabkan mereka lebih suka bekerja di sektor perikanan, pertanian, dan pemburuan. Tapi kehidupan mereka lebih banyak di lautan, beberapa kelompok kecil suku Tidung lebih menyukai tinggal di tepi laut. Mereka dikenal pemberani dengan pekerjaan berbahaya seperti menangkap buaya dan berburu lebah.

Apa bahasa Tidung di Utara Kaltim memiliki dialek bahasa yang berbeda?

Bahasa Tidung lebih dekat ke bahasa Murutic. Keberadaan literatur yang tidak ada menguraikan lebih jauh dialek suku Tidung, hal ini terutama memang bermula dari Sembakung-Sebuku sendiri. Sulit untuk meneliti sub-sub kelompok ini sebab mereka sudah berbaur. Ini lah yang menyebabkan bahasa Tidung berbeda sesuai dengan sub kelompoknya. Seperti kelompok Sesayap yang terdiri dari Tarakan, Malinau dan Batayau. Kelompok Sembakung-Sebuku yang terdiri dari Bengawong, Sumbol dan Dengusan. Tapi dialek bahasa Tarakan dan Malinau masih berhubungan erat dengan sub-sub kelompok suku Tidung (bahasanya hampir sama).

Menurut sejarahnya suku Tidung di Tarakan bagaimana?

Suku Tidung di Tarakan, mereka adalah keturunan Berayu salah satu kerajaan Tidung tertua. Kemudian mereka pindah keberbagai tempat dan mendirikan pemerintahan yang cukup kuat di kepulauan pantai seperti Mandul, Tarakan, Nunukan dan Bunyu. Sedangkan Tidung Bunyu dapat disebut bagian dari Tarakan tetapi mereka masih berbaur dengan sekelompok etnis lain. Sedangkan Sembakung termasuk suku Tidung pedalaman dan hulu sungai.

Apa anda mengetahui asal usul istilah Tarakan, apa juga termasuk bagian dari bahasa suku Tidung?

Ya, Tarakan dari bahasa Tidung. Ada catatan sejarah asal usul Tarakan yang melekat hingga sekarang. Awalnya nama Tarakan itu adalah Turakon.

Apa ada kisahnya sehingga awalnya disebut dengan nama “Turakon”?

Dulu, para saudagar ketika menemui warga masyarakat Tidung. Terjadilah miskomunikasi, lantaran sama-sama tidak saling mengerti komunikasi akhirnya hanya menggunakan bahasa isyarat saja. Suatu saat, sang tuan rumah (orang Tidung) mengajak tamunya untuk makan, karena sulitnya menyebutkan “Mari makan”, maka sang tuan rumah mengatakan dengan bahasa Tidung,”Ngakan”.

Ajakan makan tadi tidak mendapat respon dari sang tamu karena tak paham. Padahal sudah berulang kali di sebut sang tuan rumah tapi sang tamu hanya senyum-senyum saja. Akhirnya karena sudah kesal sang tuan rumah menawarkan makan dengan kata lain “Ngenturak”

(Ngenturak merupakan sebuah umpatan atau bahasa kasar sebagai tanda kekesalan). Lucunya, dengan nada umpatan yang diucapkan tuan rumah dengan nada keras, justru sang tamu malah tertawa. Melihat tamu tertawa sang tuan rumah semakin berang seolah mengejek tuan rumah. Karena saking kesalnya, muncullah kata-kata lebih kasar lagi sambil membentak tamunya tadi “Turakon”.

Dengan bentakan tadi sang tamu kemudian mengingat-ingat kata “Turakon” itu.Lalu ketika tetamu itu tadi kembali dan berkumpul dengan teman-teman lainnya sesama pendatang, ia malah menyebut dari “Turokan”. Akhirnya kata Turakon menjadi santer bagi para pendatang termasuk para saudagar dari kolonialis Belanda. Lama kelamaan kata Turakon ini mengalami beberapa perubahan lafal, tergantung siapa yang mengatakannya baik warga setempat maupun pendatang. Ketika itu Adji Raden yang menjadi pimpinan masyarakat tidak setuju dan akan meluruskan Turakon yang terbilang kasar itu. Dan Adji Raden lah yang mengubah nama itu menjadi Tarakan. (Nurul Fitriyani)

Sumber : Radar Tarakan (26 Juli 2009)
Berita Setelahnya Berita Sebelumnya